Search This Blog

Friday, October 13, 2017

Ibu Pendidik Generasi Islam

 
 
“… mendidik seorang wanita itu sama saja dengan mendidik sebuah generasi.” ~ Prakata Penerbit

Setinggi apapun pendidikan seorang anak, pengaruh besar pembentukan karakter anak didapat dari pendidikan keluarga. Maka, pentingnya ilmu orangtua, terutama ibu, dalam mendidik anak tidak bisa disepelekan. Ketika banyak masyarakat menganggap pendidikan tinggi seorang wanita akan sia-sia jika hanya berkutat dalam rumah tangga, maka stereotip yang tercipta tersebut amatlah salah. Pendidikan atau ilmu harus mutlak dimiliki oleh orangtua, terutama Ibu.

Ibu Pendidik Generasi Islam, memaparkan empat bab yang berkaitan, dari kehormatan posisi seorang perempuan dalam Islam, sampai dengan pentingnya dan bentuk kurikulum yang mendukung fitrah seorang perempuan. Bab awalan 'Wanita Dari Masa ke Masa' banyak berbicara tentang perkembangan sejarah tentang posisi perempuan dalam masyarakat, yang dilanjutkan dengan motivasi perempuan untuk menjadi pendidik utama bagi anak-anaknya. Meski begitu, dalam bahasannya penulis tidak mengingkari adanya kebutuhan peranan perempuan dalam masyarakat. .

"Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian lain. (karena) bagi laki-laki ada bagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan .... "(QS: An Nisa 32) ~ h.91

Bahasa yang digunakan cukup bersahabat, dalam artian tidak kaku; disertakan juga pertimbangan-pertimbangan bagi perempuan tentang peranannya, bahkan jika perempuan tetap berstatus pekerja. Disertakan dalam bahasannya, tentang sejarah asal muasal perempuan memutuskan bekerja, saat era Revolusi Industri.

… setiap anak itu lahir dalam keadaan suci (fitrah). Lantas kedua orangtuanyalah yang memiliki andil besar terhadap anaknya dalam memeluk suatu agama. ~ h.102

Hak-hak anak dalam Islam menjadi bahasan utama pada bab kedua, Pandangan Islam Terhadap Anak. Salah satu dari sepuluh hak anak adalah Pengasuhan dan Nafkah, bagian inilah yang penting untuk ditunaikan setiap orangtua karena bisa jadi pengasuhan islami sejak dini menjadi akar karakter seorang anak. Dan, dalam bab ini juga pendidikan diurai menjadi tiga poin, pendidikan jasmani, pendidikan akal & akhlak, serta pendidikan rohani. .

Sebenarnya pembahasan dalam bab ini sudah banyak dipaparkan buku pendidikan islam lainnya, tapi sekadar untuk pengingat, buku ini cukup memotivasi dan memilih hadist/ayat AlQur'an yang pas dan mudah dipahami.

Berlanjut pada bab berikutnya. Sesuai judul babnya, Kurikulum Pendidikan untuk Mencetak Para Ibu Sholehah, isinya lebih bersifat teknis dan pentingnya pendidikan formal bagi para calon ibu. Materi bab ini tidak lagi bersifat personal, tetapi lembaga. Selain itu, diuraikan juga perkembangan dan pertumbuhan fisik serta akal anak pada usia 6-12 th dan 13-18 th

Penulis menganjurkan pendidikan keibuan penting untuk dimasukkan dalam kurikulum. Mempersiapkan perempuan untuk menjalani fitrahnya disamping tetap mendapatkan pengetahuan yang setara dengan laki-laki. Pentingnya materi tersebut dimasukkan dalam kurikulum dikarenakan peran besar seorang ibu dalam mencetak generasi.

Ibu Pendidik Generasi Islam | Khairiah Hussein, MA | Firdauss Press | Pertama, 2016 ; 272 hlm | 4/5 bintang

Readmore → Ibu Pendidik Generasi Islam

Wednesday, December 14, 2016

Wonderful Life

Judul: Wonderful Life | Penulis: Amalia Prabowo | Penyunting: Hariadhi & Pax Benedanto | Penerbit: POP | Terbit: 2015 | Tebal: 169 hlm | Harga: Rp. 50.000 (Diskon di Toko Buku Online) | Bintang: 3/5


 Kesempurnaan hanya milik Allah SWT.
Amalia Prabowo, terlahir dari keluarga yang tergolong perfeksionis, terutama dari didikan Sang Bapak. Perencanaan menjadi hal yang penting dalam setiap pengambilan keputusan. Semua harus dipikirkan dan dirumuskan dengan baik supaya mendapatkan hasil yang baik pula. Pendidikan adalah nomor satu. Kesempurnaan seperti menjadi target utama setiap kali Amalia melakukan sesuatu. Sebuah pendidikan yang cukup ‘keras’ menurut saya.
“Sejak kecil hidupku sangat teratur dan terencana---istilahnya sekarang selalu melakukan plan-do-review. Hampir tidak pernah aku terjebak dalam situasi panik, terburu-buru, senewen dalam mengerjakan tugas. Semua rapi jail, aman terkendali.” (h.10)
Karakter dan kebiasaan yang terbentuk dari pendidikan masa kecilnya tidak sia-sia. Perjalanannya dari sekolah hingga menjejak dunia karir terlihat sempurna, meski selalu ada perjuangan di dalamnya. Puncaknya saat Amalia menjadi CEO wanita pertama di Indonesia sebuah perusahaan advertising multi nasional. “Aku, Amalia, anak daerah yang tak pernah mengenyam sekolah di luar negeri--- telah membuktikan bahwa impian tidak datang dari langit. Impian kita harus diraih, diperjuangkan, dan dicintai.” (h. 29)
Kesuksesan karir ternyata tidak sejalan dengan kehidupan rumah tangganya. Perceraian pertama ditempuhnya setelah mengalami ketidaksinkronan hati, tekanan keluarga, dan minimnya komunikasi dengan pasangan. Selang dua tahun, Amalia melangsungkan pernikahan kedua dan dianugerahi dua orang putra, Aqil dan Satria. Ujian hadir saat dia harus menghadapi kecaman dari berbagai pihak di kantor untuk segera turun dari jabatan, karir yang dibangunnya runtuh seketika. Lalu, menyusul pernikahan kedua pun berujung pada perceraian karena suaminya mengajak berpindah keyakinan.
“Tak apa, aku masih memiliki Aqil dan Satria, apalagi rasa nikmat yang masih bisa kusyukuri selain ini?” (h.61)
Hidup selalu diiringi dengan ujian. Aqil, putra pertamanya mengalami keterlambatan bicara dibandingkan anak seusianya. Awalnya, Amalia menganggapnya hal biasa tapi ternyata Aqil tetap tidak memperlihatkan perkembangan yang wajar dalam belajar. Amalia semakin mempertanyakan dirinya, ‘di mana kesalahanku sebagai orangtua?” Secara psikologis, Amalia mulai membanding-bandingkan dengan dirinya yang ‘sempurna’ sejak kecil. Harga dirinya sebagai seorang yang dihormati di dunia komunikasi harus menghadapi kenyataan memiliki anak yang kesulitan membaca dan berhitung!
“Dalam keadaan seperti ini, seringkali anak berkebutuhan khusus yang disalahkan, dan menjadi fokus terapi. Padahal yang perlu disembuhkan pertama kali justru orangtuanya, lingkungannya.” (h. 77)
Proses pemeriksaan dan tes menyatakan Aqil divonis mengidap suspek disleksia, kondisi yang menyebabkannya mengalami gangguan yang signifikan dalam membaca, menulis, dan berhitung. Perjuangan kembali dilakoni Amalia, emosi naik-turun kerap mewarnai keseharian mereka. Pertengkaran antara dirinya dan Aqil sering muncul karena minimnya kesepahaman. Tapi, Amalia terus belajar dan memohon diberikan kekuatan untuk menerima kondisi putranya.
“Aku kini lebih banyak mendengar. Aku belajar untuk duduk, diam, mendengarkan, dan mencerna.” (h.130)
Dari proses yang panjang dan alot, Amalia dan Aqil menemukan sesuatu yang indah, kebersamaan dan bakat yang tidak disangka-sangka. Meski sebagian besar memoar Amalia menyoroti kehidupannya dengan Aqil, si sulung, kehadiran Satria, putra keduanya tak terlupakan dan memperlihatkan problem tersendiri. Dengan layout yang sarat dengan ilustrasi dan pilihan huruf layaknya tulisan tangan membuat isi buku cukup mencerahkan mata.
“Anak-anak membutuhkan keberanian kita untuk menemani mereka bertualang di lautan kehidupan versi mereka. Berpetualang masuk ke dalam imajinasi mereka, merasakan imajinasi mereka. Berdialog dengan bahasa imajinasi mereka. Mereka adalah pribadi-pribadi unik yang memiliki spectrum yang maha luas.” (h. 154)
Dengan menggunakan sudut pandang dari Amalia Prabowo, sudah pasti isi buku lebih banyak berkisah tentang perjuangan dari orangtua untuk merawat anaknya. Ingin rasanya membaca sebuah memoar dari seorang Disleksia, bagaimana dia bertahan hidup dan menghadapi segala perlakuan dari lingkungan yang bisa jadi tidak bersahabat dengan ‘ketidaknormalan’nya.
Readmore → Wonderful Life

Wednesday, December 7, 2016

Perjalanan Ajaib Edward Tulane

Judul: Perjalanan Ajaib Edward Tulane | Judul Asli: The Miraculous Journey of Edward Tulane | Penulis: Kate DiCamillo | Penerjemah: Dini Pandia | Penerbit: Gramedia Pustaka Utama | Terbit: Kedua, April 2014 | Tebal: 208 hlm | Harga: Rp. 50.000 | Bintang: 4/5

“Edward sama sekali tidak suka disebut boneka. Ia menganggap kata itu amat sangat menghina.” (h.20)
Mungkin karena melihat penampilannya yang menawan dan eksklusif, Edward memandang dirinya terlalu tinggi. Edward tidak memiliki perasaan apapun, hanya terselip rasa tidak suka setiap kali diperlakukan seenaknya, selebihnya hanya menganggap manusia adalah makhluk yang membosankan. Bahkan, kepada Abilene, gadis cilik pemiliknya, Edward tidak terlalu peduli, sedangkan Abilene sangat menyayangi Edward. Ketidakpedulian Edward mengecewakan  Pellegrina, nenek Abilene yang memesan Edward pada seorang ahli boneka di Perancis, untuk hadiah ulang tahun ke-7 Abilene.

Kehidupan Edward mulai berubah saat dirinya terlempar dari kapal laut dan tenggelam ke dasar lautan. Dimulailah petualangan yang menghadirkan perasaan-perasaan dalam benak Edward  yang mulai dia kenali satu per satu. “… akhirnya, di dasar laut tertelungkup. Di sana, dengan kepala terbenam dalam lumpur, ia merasakan emosi tulus dan murni pertamanya. Edward takut.” (h.48)

Berbulan-bulan Edward terbenam dalam lautan hingga badai menyelamatkannya dengan terjaring oleh Nelayan Tua Lawrence. Seperti mendapatkan anugerah, Edward, sangat disayangi oleh pasangan tua Lawrence dan Nellie. Hadir lagi perasaan baru dalam diri Edward melalui kebersamaannya dengan Lawrence saat berkeliling kota atau saat menemani Nellie memasak di dapur.
“Sebelum ini, kalau Abilene bicara padanya, semua terasa begitu membosankan. Tapi sekarang, kisah-kisah yang diceritakan Nellie bagai sesuatu yang paling penting di dunia dan ia mendengarkan seolah hidupnya tergantung pada apa yang dikatakan wanita tua itu. Ia jadi bertanya-tanya apakah kepala poselennya kemasukan lumpur laut sehingga jadi rusak.” (h. 67)
Rupanya petualangan Edward masih panjang. Tempat pembuangan sampah menjadi persinggahan selanjutnya selama berbulan-bulan hadir perasaan baru dalam benaknya, “Ia (Edward) sangat merindukan mereka. Ia ingin bersama kedua orangtua tersebut. Si Kelinci bertanya-tanya apakah itu namanya sayang.” (h.79)

Keterpurukannya di TPA berakhir, saat seekor anjing membawa Edward kabur dan menyerahkan pada majikannya, Bull. Pengembaraan semakin luas dan membuka hatinya karena Bull adalah seorang gelandangan yang suka bepergian dan bertemu banyak orang. “Edward tahu bagaimana rasanya berulang kali mengucapkan nama orang-orang yang kautinggalkan. Ia tahu bagaimana rasanya merindukan seseorang. Jadi ia mendengarkan. Dan ketika ia mendengarkan, hatinya terbuka lebar dan terus melebar.” (h.97)

Petualangan Edward merasakan kasih sayang yang semakin dalam saat kembali ‘berpindah’ ke pelukan Sarah Ruth, gadis cilik yang mengidap penyakit parah. Kakaknya, Bryce menemukan Edward dan menjadikan Edward mainan kesayangan untuk adiknya. Sayangnya, nasib tidak berpihak pada mereka berdua, dan mengantarkan Bryce dan Edward mengembara ke kota, mengais rezeki dengan menjadikan Edward boneka tali.
“Kau mengecewakan aku. Kata-katanya membuat Edward memikirkan Pellegrina: ia teringat babi hutan dan putri raja, pada soal mendengarkan dan kasih sayang, pada mantra dan kutukan. Bagaimana kalau memang ada yang menunggu untuk menyayanginya? Bagaimana kalau ada yang akan disayanginya lagi? Mungkinkan itu? (h.177)
Novel Kate DiCamillo selalu menyimpan sesuatu dengan analogi binatang/benda di sekitar manusia. Seperti halnya saat membaca The Tiger Rising dan The Magician’s Elephant, saya mendapatkan pesan indah dalam kisahnya. Dan, dari ketiga buku DiCamillo, Petualangan Ajaib Edward Tulane adalah yang terindah dan meninggalkan kesan mendalam. Proses melunakkan hati tak  bisa dilakukan dalam hitungan hari, butuh waktu lama dan perjalanan kebersamaan yang panjang, serta terbukanya pikiran untuk merenungi pengalaman yang telah dijalani. Proses yang juga harus diiringi hati yang senantiasa bersedia menerima cinta.
Readmore → Perjalanan Ajaib Edward Tulane

Monday, November 28, 2016

Orang Jujur Tidak Sekolah

Penyunting: Pratiwi Utami
Penerbit: Bentang Pustaka
ISBN: 978-602-291-062-6
Cetak: Kedua, Maret 2015
Tebal: xii + 264 hlm
Bintang:  4/5
Harga: Rp. 49.000 (Diskon 20% di Toko Buku Online)
 

Berawal dari ketidakjujuran UAS yang dilaluinya, Rizki memutuskan untuk mencari dan meraih pendidikannya sendiri. Melihat bocoran jawaban UAS yang beredar pada teman-temannya, membuat idealismenya memberontak. Dia gerah bersekolah, tapi pendidikan masih menjadi bekal penting dalam pemikiran dan hidupnya. Pendidikan tetap harus diraihnya, meski tanpa hadir di sekolah. Pilihan yang berujung pada keputusan keluar dari SMA dan mendapatkan pendidikan yang lebih ‘membebaskan’.

Sekolah terkadang terasa mengekang dalam metode belajar yang sebatas kelas, padahal belajar bisa didapat dari mana saja. Rizki merasa lebih suka menggali ilmu pengetahuan dengan caranya sendiri. Berdiskusi atau bertanya langsung kepada guru yang bersangkutan menjadi pilihannya saat duduk di bangku SMP karena dengan cara ini membuatnya mudah untuk memahami materi. Meski terkadang caranya yang anti-mainstream mengundang kejengkelan dari guru karena ketidakpuasan Rizki dalam bertanya.
“Aku sering membolos karena tak punya ongkos membayar angkot. Lalu, apa aku tak berhak mengenyam pendidikan yang layak? … Apakah otomatis hal itu membuatku tidak bisa berkompetisi denga mereka? Bagiku, belajar adalah fitrah manusia. Kita terlahir dengan insting untuk belajar dalam diri kita. … Belajar dalam kamusku berada dalam konteks yang sangat luas.”

Masa kecilnya yang tidak terlalu menyenangkan bisa jadi membentuk karakternya yang ‘keras’ dan setiap ada kemauan akan diusahakan sekeras mungkin. Selain itu, kondisi ekonomi yang tidak menentu dan utang yang terus ‘gali lubang tutup lubang’ membuat pilihannya terlihat lebih realitis. Untungnya, Andri termasuk anak yang berani bertanggungjawab dengan pilihannya. “Aku makhluk yang benar-benar lepas dan keluar dari sistem yang ada. Aku hanya berpegang pada kemampuan berpikir dan naluri diri sendiri untuk menjalani kegiatan pendidikan yang saat itu kujalani.”

Meski terlihat tangguh, ada kalanya Andri kelelahan dengan sistem yang dipilihnya. “Saking stresnya, aku telentang di jalan perumahan saat hujan deras sedang turun. Aku tak kuat … Aku tidak bisa menampik itu. Setinggi apapun idealism yang kupegang, nyatanya tak semulus yang telah kurencanakan sebelumnya. Tangis, tawa, stress, tertekan sampai depresi, semua rasa itu telah kualami sewaktu belajar secara autodidak.”

Sekolah Menengah Atas (SMA) dilaluinya hanya dalam waktu setahun, dan berhasil masuk ke perguruan tinggi, Universitas Indonesia, Jurusan Hukum, yang juga dilalui dalam waktu singkat, tiga tahun. Pengalamannya dalam meraih pendidikan yang tidak mulus, membangkitkan misi dalam hidupnya untuk menyampaikan pendidikan tanpa harus ke sekolah dan ketergantungan pada dana.

Setelah lulus, Andri mendirikan Masjidschooling, semua prasarana dipenuhi dengan swadaya mandiri, hanya berbekal papan tulis, pena, dan tutor untuk memulai pendidikan. Meski peserta hanya satu orang, kelas harus tetap dibuka. Jika tidak ada peserta Andri dkk akan bergerak untuk menjaring peserta langsung dari pintu ke pintu. Modal nekat, tekad kuat, seperti menjadi slogan Rizki melaksanakan apa yang diinginkannya, ditambah dengan ‘yang penting niatnya baik’.
“Masjidschooling dan YPAB (Yayasan Pendiri Anak Bangsa) bukanlah pabrik ijazah. Tujuan kami adalah menciptakan ‘transfer of knowledge’ yang riil dari pendidik dan peserta didik. … Harus kuakui, mengubah mindset mendapatkan ijazah dengan ‘instan’ tersebut tidak mudah. Belum banyak yang menyadari manfaat pendidikan.”

Pastinya hambatan selalu hadir, tapi salah satu alasan Andri mampu melalui semuanya adalah kestabilan emosi yang dimilikinya. Banyak orang pintar di negeri ini, tapi Andri ‘cukup’ pintar dalam membesarkan hatinya setiap kali mengalami kegagalan. Kemampuan inilah yang membuatnya mampu bertahan menghadapi cercaan semasa dia mencari pendidikan, bahkan saat dia bergerak dalam Masjidschooling dan YPAB.

Meski jenis buku ini masuk ke biografi, tapi isinya banyak mengkritik pendidikan di Indonesia. Sudah pasti sudut pandangnya tergolong subyektif karena didasari pengalaman pribadi tanpa adanya pencarian data terkait pelaksanaan pendidikan di Indonesia secara keseluruhan. Tapi, tujuan buku ini sebenarnya untuk menyebarkan ide yang dimiliki Rizki dan memberikan sebuah pandangan baru tentang media pendidikan yang tidak melulu harus di sekolah formal.
“Apa yang kita tanam, itulah yang kita tuai. Kadang kita kehilangan karakter diri, integritas, dan kejujuran hanya karena mengikuti tren yang berlaku di masyarakat. Bagaimanapun hasil akhirnya, setidaknya hiduplah sesuai dengan nilai-nilai yang kita yakini.” (h.46)

Readmore → Orang Jujur Tidak Sekolah

Friday, November 18, 2016

Sherlock, Lupin dan Aku; Kawanan si Nyonya Hitam

Judul: Sherlock, Lupin dan Aku; Kawanan si Nyonya Hitam
Judul Asli: Sherlock, Lupin & Io: Il Trio Della Dama Nera
Penulis: Irene Adler
 Penerjemah: Tanti Susilawati
Penerbit: Bhuana Ilmu Populer
ISBN 10: 602-249-322-6
Cetak: Ketiga, Juli 2016
Tebal: 263 hlm
Bintang: 3/5
Harga:  Rp. 45.000 (Diskon di Toko Buku Online)


“Siapa bisa membayangkan kisah yang lebih menakjubkan daripada kisah itu? Seorang korban ditemukan tewas di pantai, yang semasa hidupnya memiliki dua nama dan dua kamar di hotel berbeda, di kota yang sama! Kemudian, seorang lelaki lain, yang tak kalah misteriusnya, terlihat olehku saja, tapi aku yakin dia sudah melihat kami semua.” (Irene – h.98)
Sherlock Holmes dan Arsene Lupin, nama yang pasti familiar bagi penggila buku misteri, yang satu detektif, satu lagi, pencuri dan keduanya termasuk karakter tokoh fenomenal. Tapi, itu berlaku saat mereka telah menjadi dewasa. Nah, buku ini menyuguhkan mereka dalam bentuk anak-anak, masih jauh sebelum nama mereka menjadi terkenal. Kisahnya sendiri, diceritakan dari sudut pandang Irene Adler, seorang yang kelak akan menjadi wanita yang dicintai Sherlock Holmes.
 
Kasus pertama mereka adalah kejutan berupa penemuan mayat terdampar di pantai. Dalam kantong si mayat, mereka menemukan batu-batuan yang digunakan untuk menenggelamkan mayat dan sepucuk surat berisi, “Laut akan menghapus kesalahanku.” Semakin mengejutkan saat Irene ketakutan melihat sesosok berjubah yang mengawasi mereka dari hutan. Lain halnya dengan Sherlock dan Lupin yang lebih menampakan rasa penasaran dengan si mayat.
“Aku tak paham bagaimana mungkin mereka bisa begitu tenangnya. Jantungku sendiri berdetak bertalu-talu, dan tangan serta kakiku terasa beku. Tetapi dua bocah ini malah tampak seperti … dokter di ruang operasi.” (Irene – h.66)
Sherlock dan Lupin merasa tertantang untuk menyelidiki kematian si mayat. Di sela-sela kehebohan desa dengan penemuan mayat, ketiga bocah ini pun beraksi dengan tenang supaya tidak memancing kecurigaan. Penemuan dua identitas, ditambah kegemparan akibat hilangnya kalung berlian milik Nyonya Martigny, menjadikan kasus semakin membingungkan. Sangkaan adanya keterkaitan antara dua peristiwa, yang terjadi dalam rentang waktu berdekatan, ini pun muncul.
 
Sampai suatu ketika, aktivitas penyelidikan Sherlock, Lupin dan Irene mengganggu sebuah kelompok rahasia. Penyerangan pun terjadi dan menyebabkan Sherlock dan Lupin harus mengalami luka-luka lebam, untunglah mereka memiliki keahlian berkelahi. Berkat kejadian itu, akhirnya celah terbuka, melalui salah satu pelaku pemukulan di jalanan yang dikenal Lupin. “Aku tidak tahu seberapa jauh keterlibatan Spirou dan kawanannya itu dalam kasus ini, tapi sepertinya mereka tahu lebih banyak dari kita.” (h.170) Mereka pun mulai membuntuti Spirou hingga ke sebuah gedung tua dimana sebuah kelompok rahasia mengadakan pertemuan.
 
Penyelidikan mereka mulai menemukan titik terang dan menjadi lebih mendebarkan karena adanya aksi kejar-mengejar di atap rumah. Bahkan berlanjut dengan mulai terungkapnya misteri di balik identitas si mayat. Alur penyelidikan berjalan lambat karena seringnya adanya selingan tentang keadaan keluarga masing-masing tokoh, Sherlock, Lupin dan Irene. Namun, jalan-jalan mereka di pantai, mendayung di lautan sampai ke Rumah Ashcroft tetap mengasyikkan. Tak ketinggalan, kejutan tetap hadir sampai lembaran terakhir buku.
“Kasus-kasus dipecahkan melalui banyak detail, dan detail-detail itu sebenarnya sederhana saja: hasil-hasil sepele dari penyelidikan salam sebuah perkara.” (h. 77)

Readmore → Sherlock, Lupin dan Aku; Kawanan si Nyonya Hitam

Saturday, November 12, 2016

Brooke Shields

Judul: Kisah Nyata sang Bintang Melawan Depresi Pasca-Melahirkan
Judul Asli: Down Came the Rain
Penulis: Brooke Shields
 Penerjemah: Berliani M. Nugrahani
Penerbit: Qanita
ISBN: 979-3269-59-6
Cetak: Pertama, Februari 2007
Tebal: xvi + 296 hlm
Bintang: 4/5




Memiliki anak pasti menjadi dambaan sebagian besar pasangan, seperti itu juga yang dirasakan Brookie dan Chris. Namun, perjalanan mereka mendapatkan anak tidak mudah. Perjuangan Brookie dan Chris dipaparkan pada awal memoir Brooke Shields, seorang aktris papan atas Hollywood. Leher rahim Brookie yang mengalami penyempitan membuatnya sulit untuk dibuahi. Beragam metode dan pengobatan dilakukannya, dengan kestresan yang sering membarengi prosesnya.

“Aku adalah seorang perfeksionis dan selalu menunjukkan prestasi luar biasa sehingga aku kesulitan bertoleransi pada kegagalan.” (h. 68)
IVF (In Vitro Fertilization)/ Prosedur Bayi Tabung dilakoni Brookie dengan proses yang panjang dan melelahkan, yang mencakup obat-obatan, suntikan dan pembedahan. Proses yang menjengkelkan tapi harus dijalani karena tidak adanya pilihan. Pada bagian ini, rasanya saya ikut miris membaca bagaimana ‘sengsara’ proses yang harus dijalani Brookie, apalagi ketika perjuangannya ternyata berujung pada pengguguran.

“Aku sedang berada di tengah proses kehilangan anakku, dan yang bisa kulakukan hanyalah menunggu. Betapa mengenaskan rasanya, melahirkan tanpa bisa mengharapkan hasil yang positif. Tentunya akan lebih mudah menahan rasa sakit ini saat seorang bayi menanti sebagai imbalan.” (h. 29)
Meski mengalami kegagalan dan membutuhkan pemulihan tubuh yang tidak sebentar, Brookie dan Chris kembali mencoba sekali lagi tanpa berharap besar. Namun, kepasrahan ini malah berbuah manis dengan pernyataan dokter, “Well, hasil tes ternyata positif. Anda hamil!” Suka cita memenuhi hati pikiran Brookie dan Chris, meski masih ada ketakutan akan mengalami kegagalan kembali. Rentetan kejadian dari upaya hamil sampai melahirkan menciptakan rasa sedih, haru, tapi juga kocak karena gaya bertutur Brookie yang asal ceplos, belum lagi sang suami, Chris penulis skenario komedi, yang memang sudah lucu. Kisah yang seharusnya mengharu-biru, malah bisa membuat pembaca senyum simpul atau tertawa.

“Mengapa aku lebih sering menangis daripada bayiku? Lihatlah aku, akhirnya menjadi seorang ibu dari bayi perempuan cantik yang kudapatkan dengan susah payah, dan aku justru merasa kehidupanku telah berakhir.” (h. 91)
“Aku selalu menyangka bahwa saat seorang bayi memasuki kehidupanku, semuanya akan berada di tempat yang tepat, dan aku akan dengan mudah mengikuti kehidupanku yang baru.” (h. 124)
Kebahagiaan yang seharusnya hadir bersamaan dengan kelahiran bayi mungilnya, Rowan, ternyata tak kunjung muncul. Ketakutan dan kegelisahan malah membengkak dalam benak Brookie. Setelah melewati sembilan bulan dengan penuh gairah dan anugerah, tiba-tiba impiannya menjadi berantakan. Keterikatan dengan sang bayi, yang dipikirnya akan terjadi secara alamiah, ternyata tidak menjadi kenyataan, bahkan dia merasa tidak tahan berdekatan dengan Rowan. Kondisi drop ini tidak hanya berpengaruh pada hubungan ibu-anak, tapi juga pernikahannya dengan Chris. Chris khawatir melihat kondisi emosi istrinya, bahkan ada rasa takut jika sewaktu-waktu Brookie melakukan tindakan ekstrem. Peran Chris, sebagai suami juga sangat besar, bahkan titik balik perubahan Brookie bisa dibilang saat suaminya menangis melihat kondisinya.

“Bagi seorang aktris, hal ini bisa cukup menakutkan. … Setelah menghabiskan sepanjang hidupku dengan  bekerja, di sinilah aku sekarang menjadi pengangguran. Aku tidak punya penghasilan sendiri dan tidak sedang melakukan apapun yang kuanggap pekerjaan.
Meski berisikan keluhan Brookie, buku ini juga memuat pendapat para dokter yang sering dikunjungi Brookie. Kondisi masa lalu, kelelahan, proses melahirkan yang meninggalkan trauma, psikologisnya sebagai anak, ketakutan tanpa beralasan, pribadi yang perfeksionis menjadi sebagian penyebab depresi pasca melahirkan yang menimpa diri Brookie. Perubahan yang tidak singkat dan emosi yang naik-turun, mengiringi perjalanan Brookie untuk menemukan ikatan antara dirinya dan Rowan.

“Bagiku, menjadi seorang ibu juga berarti merasakan kebahagiaan yang tak pernah terbayangkan dan kesedihan yang tak pernah terpikirkan. (h. 266)
Readmore → Brooke Shields

Saturday, October 29, 2016

Asyiknya Membantu Bunda

Penulis: Rien Dj dan Deasylawati P
Penyunting: Ayu Wulan
Penerbit: Lintang (Lini Penerbit Indiva)
ISBN: 9786021614877
Cetak: 2016
Tebal: 128 hlm
Bintang: 3/5
Harga: Rp. 28.000 (Diskon di Toko Buku Online)


“Wah, Davin baik sekali mau bantu bundanya,” puji Bu Sani saat membeli minyak goreng. Sudah pasti Davin senang dengan pujian, padahal sebelumnya dia merasa bosan dengan liburannya yang hanya tinggal di rumah. Cerpen berjudul Asyiknya Membantu Bunda, menjadi pembuka dari kumpulan cerita yang bertemakan pendidikan akhlak untuk anak.

Asyiknya Membantu Ibu menjadi salah satu cerpen yang mengangkat tema akhlak yang harus ditanamkan pada diri seorang anak. Cerita pendek lainnya yang juga memiliki pesan akhlak, tersirat dalam Bintang untuk Najma; yang bercerita tentang kebingungan Najma menemukan kelebihan dalam dirinya, Sepatu-Sepatu Lola, kisah keteledoran Lola dengan benda miliknya; Asad yang Suka Tersesat; Asal Ambil; yang masing-masing menceritakan pada anak pengetahun tentang keuntungan dan kerugian dari akhlak yang dimiliki para tokohnya.

Bukti Dio, adalah salah satu cerpen favorit saya. Dio yang sering diejek temannya sebagai anak mama, merasa marah dan kesal. Dia memutuskan untuk berbohong pada teman-temannya dengan menciptakan rekayasa foto supaya tidak dikatakan sebagai penakut. Keinginan anak untuk diakui, terutama oleh teman-temannya, tergambar pada cerpen ini. Pesan yang mengajarkan sebuah kondisi yang tidak menyenangkan, tetap harus mereka sikapi dengan positif, tidak asal membuktikan diri, apalagi dengan keburukan, seperti berbohong.

Tak hanya pada diri sendiri, akhlak juga perlu dikaitkan pada masyarakat dan lingkungan. Pemahaman tentang nama yang baik dan buruk ketika hidup dalam masyarakat terkandung dalam Satu Nama yang Terlupa; Harapan Lok Baintan; Sebatang Pohon yang Melintang. Selain itu, kisah berjudul Dari Sebutir Nasi dan Bukan Pekerjaan Sepele adalah cerpen yang menarik. Sesuatu yang sepele seperti sebutir nasi atau menyebarkan informasi ternyata bisa memberikan dampak global. Meski tema terlihat berat, tapi gaya bercerita sederhana sudah pasti dapat dicerna oleh kepala anak-anak.

Dua puluh cerpen yang ditulis oleh Rien Dj dan Deasylawati ini, tidak hanya terbalut pada realitas kehidupan, tapi juga ada beberapa cerpen yang disampaikan dengan gaya fantasi, dongeng dan misteri. Clarita si Penjual Dongeng dan Kisah Boneka Bermata Biru menjadi cerita fantasi yang mengajarkan tentang tolong-menolong. Sedangkan, sisi misteri cukup banyak dimuat seperti pada cerpen Aksi Detektif Fian: Siapa Pencurinya?; Komplotan Jaket Merah; Misteri Lukisan Berdarah; Misteri Rambut Perak; Kutukan Empu Gandring, Pria Misterius dan Ransel Merah; Rumah Nomor Tiga Puluh.

Mengingat pentingnya penanaman akhlak terpuji pada anak sejak dini, menjadikan media cerita sebagai pilihan yang menarik. Cerita atau dongeng dapat dijadikan pengantar materi pemahanan pada anak karena caranya yang terkesan ringan tanpa paksaan.
Readmore → Asyiknya Membantu Bunda
 

Sahabat si Cilik Template by Ipietoon Cute Blog Design