Judul: Wonderful Life
| Penulis: Amalia Prabowo | Penyunting: Hariadhi & Pax Benedanto
| Penerbit: POP | Terbit: 2015 | Tebal: 169 hlm | Harga: Rp. 50.000
(Diskon di Toko Buku Online) | Bintang: 3/5
Kesempurnaan hanya milik Allah SWT.
Amalia
Prabowo, terlahir dari keluarga yang tergolong perfeksionis, terutama
dari didikan Sang Bapak. Perencanaan menjadi hal yang penting dalam
setiap pengambilan keputusan. Semua harus dipikirkan dan dirumuskan
dengan baik supaya mendapatkan hasil yang baik pula. Pendidikan adalah
nomor satu. Kesempurnaan seperti menjadi target utama setiap kali Amalia
melakukan sesuatu. Sebuah pendidikan yang cukup ‘keras’ menurut saya.
“Sejak kecil hidupku sangat teratur dan terencana---istilahnya sekarang selalu melakukan plan-do-review. Hampir tidak pernah aku terjebak dalam situasi panik, terburu-buru, senewen dalam mengerjakan tugas. Semua rapi jail, aman terkendali.” (h.10)
Karakter
dan kebiasaan yang terbentuk dari pendidikan masa kecilnya tidak
sia-sia. Perjalanannya dari sekolah hingga menjejak dunia karir terlihat
sempurna, meski selalu ada perjuangan di dalamnya. Puncaknya saat
Amalia menjadi CEO wanita pertama di Indonesia sebuah perusahaan
advertising multi nasional. “Aku, Amalia, anak daerah yang tak pernah
mengenyam sekolah di luar negeri--- telah membuktikan bahwa impian
tidak datang dari langit. Impian kita harus diraih, diperjuangkan, dan
dicintai.” (h. 29)
Kesuksesan
karir ternyata tidak sejalan dengan kehidupan rumah tangganya.
Perceraian pertama ditempuhnya setelah mengalami ketidaksinkronan hati,
tekanan keluarga, dan minimnya komunikasi dengan pasangan. Selang dua
tahun, Amalia melangsungkan pernikahan kedua dan dianugerahi dua orang
putra, Aqil dan Satria. Ujian hadir saat dia harus menghadapi kecaman
dari berbagai pihak di kantor untuk segera turun dari jabatan, karir
yang dibangunnya runtuh seketika. Lalu, menyusul pernikahan kedua pun
berujung pada perceraian karena suaminya mengajak berpindah keyakinan.
“Tak apa, aku masih memiliki Aqil dan Satria, apalagi rasa nikmat yang masih bisa kusyukuri selain ini?” (h.61)
Hidup
selalu diiringi dengan ujian. Aqil, putra pertamanya mengalami
keterlambatan bicara dibandingkan anak seusianya. Awalnya, Amalia
menganggapnya hal biasa tapi ternyata Aqil tetap tidak memperlihatkan
perkembangan yang wajar dalam belajar. Amalia semakin mempertanyakan
dirinya, ‘di mana kesalahanku sebagai orangtua?” Secara psikologis,
Amalia mulai membanding-bandingkan dengan dirinya yang ‘sempurna’ sejak
kecil. Harga dirinya sebagai seorang yang dihormati di dunia komunikasi
harus menghadapi kenyataan memiliki anak yang kesulitan membaca dan
berhitung!
“Dalam keadaan seperti ini, seringkali anak berkebutuhan khusus yang disalahkan, dan menjadi fokus terapi. Padahal yang perlu disembuhkan pertama kali justru orangtuanya, lingkungannya.” (h. 77)
Proses
pemeriksaan dan tes menyatakan Aqil divonis mengidap suspek disleksia,
kondisi yang menyebabkannya mengalami gangguan yang signifikan dalam
membaca, menulis, dan berhitung. Perjuangan kembali dilakoni Amalia,
emosi naik-turun kerap mewarnai keseharian mereka. Pertengkaran antara
dirinya dan Aqil sering muncul karena minimnya kesepahaman. Tapi, Amalia
terus belajar dan memohon diberikan kekuatan untuk menerima kondisi
putranya.
“Aku kini lebih banyak mendengar. Aku belajar untuk duduk, diam, mendengarkan, dan mencerna.” (h.130)
Dari
proses yang panjang dan alot, Amalia dan Aqil menemukan sesuatu yang
indah, kebersamaan dan bakat yang tidak disangka-sangka. Meski sebagian
besar memoar Amalia menyoroti kehidupannya dengan Aqil, si sulung,
kehadiran Satria, putra keduanya tak terlupakan dan memperlihatkan
problem tersendiri. Dengan layout yang sarat dengan ilustrasi dan
pilihan huruf layaknya tulisan tangan membuat isi buku cukup mencerahkan
mata.
“Anak-anak membutuhkan keberanian kita untuk menemani mereka bertualang di lautan kehidupan versi mereka. Berpetualang masuk ke dalam imajinasi mereka, merasakan imajinasi mereka. Berdialog dengan bahasa imajinasi mereka. Mereka adalah pribadi-pribadi unik yang memiliki spectrum yang maha luas.” (h. 154)
Dengan
menggunakan sudut pandang dari Amalia Prabowo, sudah pasti isi buku
lebih banyak berkisah tentang perjuangan dari orangtua untuk merawat
anaknya. Ingin rasanya membaca sebuah memoar dari seorang Disleksia,
bagaimana dia bertahan hidup dan menghadapi segala perlakuan dari
lingkungan yang bisa jadi tidak bersahabat dengan ‘ketidaknormalan’nya.